LEGENDA
PERANCAK
ASAL MULA PERANCAK
Pura Gede Perancak
merupakan salah satu lokasi sacral di Bali. Pura ini dikenal sebagai salah satu
pura Dang Kahyangan, yaitu pura yang terkait erat dengan legenda Dang Hyang
Nirartha. Dang Hyang Nirartha juga dikenal sebagai Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh
yang dipuja masyarakat Bali sebagai penyebaran agama Hindu di Bali.
Pura Gede Perancak yang
diselenggarakan pada Buda Umanis wuku Medangsia setiap enam bulan atau 210 hari
berdasarkan penanggalan Bali. Nama Pura Gede Perancak terkait erat dengan kisah
kedatangan Dang Hyang Nirartha dari kerajaan Blam-bangan di Jawa pada abad
ke-15. Menurut kebanyakan orang, kesucian dan kharisma Beliau sangat besar yang
menyebabkan adik Raja Blambangan jatuh hatin padanya dan menimbulkan pada
orang-orang istana, dan menuduh menggunakan guna-guna. Untuk menghindari
konflik, Dang Hyang Nirartha melarikan diri dari jawa dengan bantuan para
nelayan desa Muncar di kerajaan blambangan (Jawa Timur).
Tanjung Ketapang
merupakan muara sungai tempat Dang Hyang Nirartha tiba, saat in dikenal sebagai
Desa Perancak . ketika itu disanalah sang pendeta berjumpa dengan I Gusti
Ngurah Rangsasa, mahapatih Kerajaan Negare. Aturan yang berlakun saat itu
adalah siapapun yang melewati tersebut harus tunduk dan menyembah pada batu
bebaturan (pelinggih kecil yang terbuat dari tumpukan batu bata dan paras yang
disebut Pura Usang). Sebagai seorang pendeta suci, Dang Hyang Nirartha tidak
dapat melakukan penyembahan terhadap pelinggih bebaturan. Walaupun sang pendeta
menolak untuk melakukan penyembahan terhadap pelinggih bebaturan, karena
dibawah tekanan, pendeta suci tersebut mencakupkan kedua tangannya seperti
sikap berdoa. Pada saat ia melakukan itu, pelinggih bebaturan tersebut pecah
dan hancur berantakan. Kemudian tempat tersebut dikenal dengan Pura Encak
melihat hal tersebut , menteri Kerajaan, I Gusti Rangsasa menjadi takut dan
melarikan diri . kejadiaan saat itu dapat dilihat saat ini disatu tempat yang
disebut Sawe Rangsasa, julukan untuk Patih Rangsasa yang melarikan diri dan
tewas disana. Peristiwa tersebut terjadi disisi utara, di seberang sungai. Hingga
saat ini lokasi tersebut dijadikan sebagai tempat sacral (tenget). Lama setelah
penduduk local berdoa ditempat tersebut dan juga karena ada beberapa masalah disana,
para ‘umat’ pura melakukan nunas raos, memohon petunjuk spiritual, untuk
menayakan kemungkinan memindahkan Pura Encak ke sisi selatan sungai. Mereka mencari
balian sebagai pengantar, untuk bias berkomunikasi dengan para dewa. Ketika dimasukan
roh, dikatakan bahwa masyarakat Perancak boleh memindahakn pura keseberang
sungai dengan syarat mereka harus melemparkan sebatang bambu khusus, dan dimana
bambu tersebut jatuh di situlah tempat lokasi pun didirikan. Suatu hari ,
ditempat yang didalam di atas tanah timbul hasil gundukan pasir, terlihat
sebatang bambu. Lambat laun, setiap hari gundukan pasir secara perlahan semakin
luas dan pura bisa dibangun ditempat tersebut. Kisah tersebut dituturkan oleh
Nengah Kirtha, seorang penutur asli Perancak dan mantan bendesa adat Perancak
periode 1969-1999.
BUAYA DWE- BUAYA
PENJAGA PURA
Dulu, ada sangat banyak
buaya diperancak-berjumlah ribuan. Tetapi sekitar tahun 1958, seorang pemburu
dari Bugis dating dan mengambil buaya-buaya tersebut. Semua buaya ditangkap dan
sekarang benar-benar sudah punah. Saat ini,hanya ada buaya niskala yang
kadang-kadang bisa terlihat. Buaya yang dipercaya masyarakat Perancak. Pintu masuk
bagian dalam Pura Perancak dijaga oleh dua patung buaya-satu berwarna hitam
adalah buaya jantan dan satunya lagi berwarna kuning adalah betina yang menjaga
ruang sacral di dalam pura. Disamping dua buaya penjaga pura,ada juga harimau
yang menjaga tempat tersebut. Ada masyarakat yang bisa mendengar auman harimau
ketika bersembahyang. Suatu ketika, Pak Kirtha menceritakan, ketika ia bersembahnyang
di pura bersama ayahnya, ia mendengar suara auman harimau. Suara tersebut
membuat Pak Kirtha ketakutan. Pak khirta belum pernah melihat buaya niskala. Tetapi
beberapa orang pernah melihatnya. Buaya-buaya
penjaga tersebut kadang-kadang terlihat ketika piodalan pura. Mangku Sandra,
salah seorang pemangku di Pura Perancak malah pernah meihat langsung buaya dan
harimau tersebut melintas didepannya saat beliau bermeditasi. Selain sepasang
buaya hitam dan kuning, kadan ada satu buaya berwarna putih yang juga terlihat.
Buaya putih kerap muncul dalam bentuk sampan ketika para perempuan pergi ke
sungai untuk membersihkan diri.
Sebuah makam keramat
berdiri di bagian utara Desa Perancak. Satu pembunuhan terjadi ditempat
tersebut ketika jembrana masih berbentuk kerajaan. Pada saat itu, seorang
delegasi dikirim oleh Raja Jawa dan Madura untuk membawa selembar kain
Geringsing Wayang yang sacral sebagai hadiah ke salah satu dari dua Raja
Jembrana. Hadiah dari Solo tersebut ditunjukan untuk Raja di Utara. Tetapi para
utusan dari Solo ditipu,sehingga pergi ke kerajaan Raja Selatan dan ditangkap
oleh seorang patih yang sangat berambisi memiliki Geringsing Wayang untuk
dirinya sendiri. Para utusan dibunuh ditempat makam keramat yang berada saat
ini, agar si pencuri tidak bisa ditemukan. Tetapi lama ke lamaan setelah
penyakit secara beruntun menyerang keluarga Kerajaan Jembrana Selatan, mereka
meminta petunjuk pada balian. Peristiwa tragis yang terjadi memberikan
pelajaran pada mereka tentang utang jiwa (mautang urip), sebagai tanggung jawab
sampai saat ini. Sebuah pemakaman megah kemudian dibangun pada lokasi
terjadinya pembunuhan terhadap para utusan di Perancak tahun 1800-an, dan untuk
saat ini upacara dilakukan dilokasi tersebut sebagai penebusan dosa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar